1.
PENGERTIAN
PEMBATALAN PERKAWINAN
Pembatalan
perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad
nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah
perkawinan selesai dilangsungkan, dan diketahui adanya syarat-syarat yang tidak
terpenuhi menurut pasal 22 undang-undang perkawinan. Namun, bila rukun yang
tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah.
Didalam
fikih sebenarnya dikenal dua istolah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah
al-fasid dan nikah al-batil. Al-jaziry menyatakan
bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari
syarat-syaratnya, sedangkan nikah al-batil adalah apabila tidak terpenuhinya
rukun. Hukum nikah al-Fasid dan al-batil adalah
sama-sama tidak sah. Dalam terminologi undang-undang perkawinan nikah
al-fasid dan al-batil dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pada
pencegahan.
Lihat Selengkapnya
Lihat Selengkapnya
Istilah
“batal” nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai
ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti nietig
zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak
ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklraad, sedangkan absolute
nietig adalah pembatalan mutlak.
Adaya
kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik
dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur
terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap undang-undang
perkawinan atau hukum munakahat. Jika ini terjadi maka Pengadilan Agama dapat
membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan. Adapaun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan
adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami dan istri
dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan
tersebut.
1.
PERSPEKTIF
UU NO. 1/1974
Masalah
pembatalan perkawinan diatur didalam fiqih islam yang dikenal dengan sebutan
nikah al-batil. Didalam pasal 22 UU No. 1/1974 dinyatakan dengan tegas:
Perkawinan
dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Suatu
perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara
sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan:
Pertama, pelanggaran prosudural perkawinan. Contonya, tidak
terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan
prosudural lainnya.
Kedua, pelanggaran terhadapa materi perkawinan. Contonya,
perkawinan yang dilangsungkan dibawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai
calon suami dan istri.
Adapun
perkawinan yang dapat dibatalkan adalah seperti yang terdapat di dalam UUP
sebagai berikut:
Pasal
22
Perkawinan
dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Pasal
24
Barangsiapa
karena perkawinan masih terikat dirinya denga salah satu dari kedua belah pihak
dan atas dasar masih adanya perkawinan yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan
pasal 4 undang-undang ini.
Dan
suami istri atau keluarga dapat juga mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan jika perkawinan dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atu tidak dihadiri 2 orang
saksi dan dalam perkawinan tersebut dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum seperti yang terdapat dalam pasal 26 dan 27 UUPA.
Selanjutnya
berkenan dengan pihak-pihak yang berkualitas sebagai penggugat dalam perkara
pembatalan perkawinan adalah
Pasal
23
Yang
dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
1.
Para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
2.
Suami
atau istri;
3.
Pejabat
yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4.
Pejabat
yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 undang-undang ini dan setiap orang
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Adapun
menyangkut saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan dimuat di dalam pasal 28
ayat 1;
Batalnya
perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
1.
PERSPEKTIF
KHI
Didalam
Pasal 70 KHI dinyatakan perkawinan batal (batal demi hukum) apabila:
1.
Suami
melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah
mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu
dalam iddah talak raj’i;
2.
Seseorang
menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya;
3.
Seseorang
menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga kali talaq olehnya, kecuali
bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian
bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
4.
Perkawinan
dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan
sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8
undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu;
1.
Berhubungan
darah dalam garis lurus kebawah atau ke atas;
2.
Berhubungan
darah dalam garis lurus keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3.
Berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu dan ayah tiri;
4.
Berhubungan
sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman
sesusuan;
5.
Istri
adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri atau
istri-istrinya.
Selanjutnya
pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan:
Suatu
perkawinan dapat dibatalakan apabila:
1.
Seorang
suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama;
2.
Perempuan
yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjalani istri pria yang
mafqud;
3.
Perempuan
yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain;
4.
Perkawinan
yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan pasal 7
undang-undang No. 1 Tahun 1974;
5.
Perkawinan
dilangsungkan tanpa wali tau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
6.
Perkawinan
yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal
72
(1)
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
(2)
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
sangka mengenai diri suami atau istri.
Menyangkut
saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan tampaknya bunyi pasal KHI sama
dengan UUP.
Pasal
74 ayat 2
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan agama mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
2. SYARAT SYARAT PERKAWINAN
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Suatu perkawinan baru dapat
dikatakan perkawinan sah apabila memenuhi syarat-syarat
perkawinan dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya serta
dicatat menurut peraturan perundang-undangan.
Syarat-syarat
perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UU No. I tahun
1974. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat
materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang
bersifat formil.
Syarat
perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 s/d 11 UU No.
I tahun 1974 yaitu:
1.
Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2.
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya
telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3.
Perkawinan
hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari
pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
wanita.
4.
Seorang
yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi
kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5.
Apabila
suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya.
6.
Bagi
seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Dalam
pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah sebagai
berikut:
1.
Apabila
perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari,
dihitung sejak kematian suami.
2.
Apabila
perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang
bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung
sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap.
3.
Apabila
perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
4.
Bagi
janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas
suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.
Pasal
8 Undang-undang No. I/1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua
orang yang:
1.
Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest.
2.
Berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping yaitu anatara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya/kewangsaan.
3.
Berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri/periparan.
4.
Berhubungan
sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan.
5.
Berhubungan
saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal
seorang suami beristri lebih Dari seorang
6.
Mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Syarat
perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No. I/1974
direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
·
Setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya
kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan
itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan
dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon
mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur,
agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5)
·
Setelah
syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah
memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal
tersebut (Pasal 6-7).
·
Apabila
semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang
ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:
1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
2. hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan
(pasal 8-9)
·
Barulah
perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai
menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan
dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada
Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan
akta perkawinan (pasal 10-13).
3. AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN
Pembicaraan
pembatalan perkawinan mengesankan bahwa perkawinan itu sebelumnya telah
berlangsung dan bisa buah dari perkawinan itu telah ada seperti anak dan harta
bersama. Masalahnya adalah bagaimana jika terjadi pembatalan perkawinan,
bagaimana status anak tersebut?
Didalam
undang-undang No. 1/1974 Pasal 28 ayat (2) dinyatakan:
Keputusan
tidak berlaku surut terhadap:
1.
Anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
2.
Suami
atau istri yang bertindak dengan beriktikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang
lebih dahulu.
3.
Orang-orang
ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b sepanjang mereka memperoleh
hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Sedangkan
menurut KHI seperti yang terdapat pada pasal 75 dan 76 dijelaskan:
Pasal
75 KHI
Keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap;
1.
Perkawinan
yang batal karena salah satu dari suami istri murtad;
2.
Anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
3.
Pihak
ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum
keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal
76 KHI
Batalnya
suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya.
Dengan
demikian jelaslah pembatalan perkawinan tidak berpengaruh terhadap status anak
yang telah mereka lahirkan.
4. PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PEMBATALAN
PERKAWINAN (pasal 23 UU No. 1 tahun 1974)
Para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dari suami atau istri;
a. Suami atau
istri;
b. Pejabat yang berwenang hanya selama
perkawinan belum diputuskan;
c. Pejabat
pengadilan.
Pasal 73 KHI menyebutkan bahwa yang
dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:
a. para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
b. suami atau isteri
c. pejabat yang
berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang
d. para pihak yang berkepentingan yang
mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam
dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67
4. ALASAN PEMBATALAN PERKAWINAN
Perkawinan dapat dibatalkan, bila:
o perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 27 UU No. 1/1974).
o salah satu
pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974). Identitas palsu
misalnya tentang status, usia atau agama.
o suami/istri
yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seijin dan
sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 01 tahun 1974).
o Perkawinan yang
tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU Perkawinan)
Sementara menurut Pasal 71 KHI,
perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami
melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata
kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang);
c. perempuan yang
dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur
perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974;
e. perkawinan
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f. perkawinan yang
dilaksanakan dengan paksaan.
5. PENGAJUAN PEMBATALAN PERKAWINAN
Permohonan pembatalan perkawinan
dapat diajukan ke Pengadilan (Pengadilan Agama bagi Muslim dan Pengadilan
Negeri bagi Non-Muslim) di dalam daerah hukum di mana perkawinan telah
dilangsungkan atau di tempat tinggal pasangan (suami-istri). Atau bisa juga di
tempat tinggal salah satu dari pasangan baru tersebut.
6. BAGAIMANA CARA MENGAJUKAN PERMOHONAN PEMBATALAN PERKAWINAN ?
a. Anda atau Kuasa
Hukum anda mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan
Negeri bagi Non Muslim (UU No.7/1989 pasal 73)
b. Kemudian anda mengajukan permohonan
secara tertulis atau lisan kepada Ketua Pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg
pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang muka biaya perkara kepada
Bendaharawan Khusus.
c. Anda sebagai
Pemohon, dan suami (atau beserta istri barunya) sebagai Termohon harus datang
menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau
dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU No.7/1989 pasal 82
ayat (2), PP No. 9/1975 pasal 26,27 dan 28 Jo HIR pasal 121,124 dan 125)
d. Pemohon dan Termohon secara pribadi
atau melalui kuasanya wajib membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil)
permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka Sidang Pengadilan berdasarkan
alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak,
persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg pasal 268).
Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut.
e. Pemohon atau
Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan Pengadilan
Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
f. Pemohon dan
Termohon menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari Pengadilan
g. Setelah anda menerima akta
pembatalan, sebagai Pemohon anda segera meminta penghapusan pencatatan
perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil
(KCS).
KESIMPULAN
Pembatalan
perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akan
nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah
perkawinan selesai dilangsungkan, dan diketahui adanya syarat-syarat yang tidak
terpenuhi menurut pasal 22 undang-undang perkawinan. Namun, bila rukun yang
tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah.
Suatu
perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara
sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan:900
Pertama, pelanggaran prosudural perkawinan. Contonya, tidak
terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan
prosudural lainnya.
Kedua, pelanggaran terhadapa materi perkawinan. Contonya,
perkawinan yang dilangsungkan dibawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai
calon suami dan istri.
Jadi,
aturan-aturan perkawinan yang secara garis besar termuat di dalam rukun dan
syarat-syaratnya merupakan pagar yang membatasi setiap orang untuk melakukan
perkawinan terlarang. Seorang laki-laki yang akan menikah dengan seorang
perempuan terlebih dahulu harus memeriksa apakah antara dirinya dan perempuan
itu terdapat factor-faktor penghalang (muwani’) atau tidak, rukun dan syaratnya
terpenuhi dan urusan administrative yang lengkap. Disamping itu posisi saksi
menjadi sangat menentukan.
0 Response to "PEMBATALAN PERKAWINAN"
Posting Komentar