Al-Imam an-Nawawi t menyebutkan dalam kitab beliau Raudhatuth
Thalibin bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu:
1. Al-waqif (orang yang mewakafkan),
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju dari wakaf tersebut), dan
4. Shighah (lafadz dari yang mewakafkan).
Adapun penjelasan dari keempat rukun tersebut sebagaimana
disebutkan dalam kitab-kitab para ulama di antaranya adalah sebagai berikut.
Al-Waqif (Orang yang Mewakafkan)
Disyaratkan agar wakif adalah:
a. Orang yang berakal dan dewasa pemikirannya (rasyid).
Oleh karena itu, jika ada orang gila yang mengatakan, “Aku wakafkan rumahku”,
wakafnya tidak sah.
b. Sudah berusia baligh dan bisa bertransaksi.
Jika ada anak kecil yang belum baligh meskipun sudah mumayyiz mengatakan, “Aku
wakafkan rumahku untuk penuntut ilmu”, wakafnya tidak sah.
c. Orang yang merdeka (bukan budak).
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menyebutkan dalam Mulakhas Fiqhi, “Disyaratkan bagi
orang yang wakaf, ia adalah orang yang transaksinya diterima (bisa menggunakan
harta), yaitu dalam keadaan sudah baligh, merdeka, dan dewasa pemikirannya
(rasyid). Maka dari itu, tidak sah wakaf yang dilakukan oleh anak yang masih
kecil, orang yang idiot, dan budak.” (al-Mulakhash)
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t menegaskan, “Seandainya dia adalah seorang yang
baligh, berakal namun dungu yaitu tidak bisa menggunakan hartanya (karena tidak
normal berpikirnya), tidak sah wakafnya karena dia tidak bisa menggunakan
hartanya. Oleh karena itu, sebagaimana tidak sah ketika dia menjual hartanya
maka sedekah dia dengan hartanya lebih pantas untuk tidak diperbolehkan.”
(asy-Syarhul Mumti’)
Wakaf Orang yang Terlilit Utang
Apakah disyaratkan orang yang wakaf adalah orang yang tidak terlilit utang yang
bisa menyita seluruh hartanya?
Dalam hal ini ada khilaf di antara ulama. Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t mengatakan,
“Yang benar dalam masalah ini, tidak sah sedekahnya, karena orang yang terlilit
utang yang akan menyita seluruh hartanya adalah orang yang sedang tersibukkan
dengan utang. Sementara itu, membayar utang hukumnya adalah wajib sedangkan
bersedekah hukumnya adalah sunnah. Maka tidak mungkin kita menggugurkan yang
wajib karena amalan yang sunnah.” (asy-Syarhul Mumti’)
Al-Mauquf (Harta yang Diwakafkan)
Berdasarkan jenis benda yang diwakafkan, maka wakaf terbagi menjadi tiga macam:
a. Wakaf berupa benda yang diam/tidak bergerak, seperti tanah, rumah, toko, dan
semisalnya. Telah sepakat para ulama tentang disyariatkannya wakaf jenis ini.
b. Wakaf benda yang bisa dipindah/bergerak, seperti mobil, hewan, dan
semisalnya. Termasuk dalil yang menunjukkan bolehnya wakaf jenis ini adalah
hadits:
وَأَمَّا خَالِدٌ فَقَدْ احْتَبَسَ
أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Adapun Khalid maka dia telah mewakafkan baju besinya dan pedang (atau kuda)-nya
di jalan Allah l.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Hewan termasuk benda
yang bisa dimanfaatkan. Kalau berupa hewan tunggangan maka bisa dinaiki dan
kalau berupa hewan yang bisa diambil susunya maka bisa dimanfaatkan susunya.”
c. Wakaf berupa uang.
Tentang wakaf ini, asy-Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin t mengatakan, “Yang benar
adalah boleh mewakafkan uang untuk dipinjamkan bagi yang membutuhkan. Tidak
mengapa ini dilakukan dan tidak ada dalil yang melarang. Semua ini dalam rangka
menyampaikan kebaikan untuk orang lain.” (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah
edisi 77, Taudhihul Ahkam, dan asy-Syarhul Mumti’)
Wakaf uang dengan maksud seperti ini juga disebutkan kebolehannya dalam Fatwa
al-Lajnah ad-Daimah no. 1202.
Di antara hal yang juga harus diperhatikan dari harta yang akan
diwakafkan adalah:
1. Harta tersebut telah diketahui dan ditentukan bendanya.
Sesuatu yang diwakafkan adalah sesuatu yang sudah jelas dan ditetapkan. Bukan
sesuatu yang belum jelas bendanya, karena kalau demikian, tidak sah wakafnya.
Misalnya, Anda mengatakan, “Saya wakafkan salah satu rumah saya.”
Wakaf seperti ini tidak sah karena rumah yang dia wakafkan belum ditentukan,
kecuali kalau mewakafkan sesuatu yang belum ditentukan namun dari benda yang
sama jenis dan keadaannya. Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah jika
keadaan benda tersebut sama, wakafnya sah. Contohnya, seseorang memiliki dua
rumah yang sama dari segala sisinya. Kemudian dia mengatakan, “Saya wakafkan salah
satu rumah saya kepada fulan.” Yang demikian ini tidak mengapa….” (Lihat
asy-Syarhul Mumti’)
2. Benda tersebut adalah milik yang mewakafkan.
Tidak boleh mewakafkan harta yang sedang dijadikan jaminan/digadaikan kepada
pihak lain. (Lihat Fatwa al-Lajnah ad-Daimah no. 17196)
3. Harta yang diwakafkan adalah benda yang bisa diperjualbelikan
dan bisa terus dimanfaatkan dengan tetap masih ada wujud bendanya.
Hal ini bukan berarti harta yang telah diwakafkan boleh diperjualbelikan.
Bahkan, para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah sebagaimana pada fatwa no. 8376,
19300, dan yang lainnya menyebutkan bahwasanya tidak diperbolehkan atau
diharamkan menjual buku atau kitab yang diwakafkan. Seseorang yang mengambilnya
harus memanfaatkannya atau dia berikan kepada orang yang akan memanfaatkannya.
Tidak boleh baginya untuk menukarnya dengan uang atau buku lainnya kecuali
kalau dengan buku lainnya yang juga telah diwakafkan.
Namun yang dimaksud dari poin yang ketiga ini adalah bahwa benda yang hendak
diwakafkan adalah sesuatu yang jenisnya bisa diperjualbelikan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Adapun sesuatu yang
tidak ada manfaatnya, tidak sah wakafnya, sebagaimana tidak sah untuk
diperjualbelikan. Apa faedahnya dari sesuatu yang diwakafkan namun tidak ada
manfaatnya? Seperti seseorang yang mewakafkan keledai yang sudah sangat tua.
Maka wakaf tersebut tidak ada manfaatnya karena tidak bisa ditunggangi dan
tidak bisa dimanfaatkan untuk membawa beban, bahkan akan merugikan karena harus
memberi makan hewan tersebut….” (asy-Syarhul Mumti’)
Sebagian ulama menerangkan bahwa harta yang diwakafkan haruslah benda yang
manfaatnya harus terus-menerus. Berdasarkan pendapat ini, jika harta yang
diwakafkan berupa sesuatu yang manfaatnya terbatas waktunya, wakafnya tidak
sah.
Misalnya, seseorang menyewa rumah untuk jangka waktu sepuluh tahun. Selanjutnya
dia mewakafkan rumah tersebut pada seseorang. Dalam hal ini, wakafnya tidak sah
karena manfaatnya tidak terus-menerus, tetapi hanya selama waktu sewa saja. Di
sisi lain, rumah tersebut adalah rumah sewaan dan tidak dimiliki oleh yang
menyewa. Jadi, si penyewa hanya memiliki manfaat dan tidak memiliki bendanya.
Di samping itu, sebagian ulama juga menerangkan bahwa harta yang tidak mungkin
untuk dimanfaatkan melainkan dengan menghabiskan bendanya (seperti makanan,
red.) maka tidak sah wakafnya. Di antara dalil yang disebutkan oleh para ulama
tentang hal ini adalah hadits:
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا
“Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa wakaf tidak bisa melainkan untuk aset yang bisa
ditahan bendanya.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan tentang syarat
sahnya wakaf, menyebutkan, “(Disyaratkan) agar aset/benda yang diwakafkan
adalah sesuatu yang bisa dimanfaatkan dengan pemanfaatan yang terus-menerus dan
tetap/masih ada bendanya. Karena itu, tidak sah wakaf dari harta yang akan
lenyap setelah dimanfaatkan, seperti makanan….” (al-Mulakhas)
Al-Mauquf ‘alaih (Pihak yang Dituju/Dimaksud dari Wakaf)
Dipandang dari sisi pemanfaatannya, maka wakaf terbagi menjadi dua:
1. Wakaf yang sifatnya tertuju pada keluarga (individu).
Orang yang mewakafkan menginginkan agar manfaatnya diberikan kepada orang-orang
yang dia ingin berbuat baik kepadanya dari kalangan kerabatnya. Tidak diragukan
lagi bahwa wakaf ini termasuk kewajiban yang terkandung dalam keumuman ayat
yang memerintahkan berbuat baik kepada kerabat.
2. Wakaf untuk amalan-amalan kebaikan.
Wakaf ini diarahkan untuk kemaslahatan masyarakat di suatu negeri. Inilah jenis
wakaf yang paling banyak dilakukan, seperti untuk masjid, madrasah, dan
semisalnya. (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 77)
Pembagian wakaf di atas—wallahu a’lam—ditunjukkan dalam hadits:
فَتَصَدَّقَ بهَا عُمَرُ فِي
الفُقَرَاءِ، وَفِي القُرْبَى، وَفِي الرِّقَابِ، وَفِي سَبيلِ اللهِ، وَابْنِ
السَّبِيْلِ، وَالضَّيْفِ
“Maka bersedekahlah Umar dengannya (tanah di Khaibar) yang manfaatnya
diperuntukkan kepada fakir miskin, kerabat, memerdekakan budak, jihad, musafir
yang kehabisan bekal, dan tamu.” (HR. al-Bukhari-Muslim)
Perlu diketahui pula bahwa wakaf pada dasarnya dimaksudkan untuk berbuat
kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah l, karena seorang yang mewakafkan
hartanya menginginkannya sebagai amalan yang tidak ada hentinya setelah
wafatnya. Orang yang mewakafkan hartanya tentunya menginginkan dirinya akan
terus memperoleh pahala sampaipun telah meninggal dunia.
Dibangun di atas alasan ini, maka seseorang tidak diperbolehkan untuk
mewakafkan sesuatu dalam perkara yang diharamkan. Misalnya, mewakafkan untuk
sebagian anaknya saja dan tidak pada sebagian yang lainnya. Seperti mengatakan,
“Harta ini saya wakafkan untuk anak laki-laki saya si fulan, atau untuk anak
perempuan saya si fulanah tanpa untuk yang lainnya.”
Hal ini menunjukkan dia melebihkan salah satu anaknya dalam pemberian dari yang
lainnya dan ini adalah perbuatan yang diharamkan. Sebagaimana telah dimaklumi,
tidak mungkin untuk mendekatkan diri pada Allah l dengan perbuatan kemaksiatan.
(Lihat Fatwa al-Lajnah no. 255, 17, 4412)
Asy-Syaikh as-Sa’di t berkata sebagaimana dinukil oleh penulis kitab Taudhihul
Ahkam, “Disyaratkannya untuk kebaikan dan untuk mendekatkan diri kepada Allah l
pada amalan wakaf menunjukkan bahwa wakaf untuk sebagian ahli waris tanpa untuk
sebagian lainnya adalah haram dan tidak sah.”
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata, “Wakaf yang berupa bangunan yang dikeramatkan,
adalah harta yang tidak ada pemiliknya, maka diarahkan penggunaannya untuk
kepentingan kaum muslimin. Hal ini karena wakaf tidak sah kecuali untuk
mendekatkan diri kepada Allah l serta dalam bentuk ketaatan kepada Allah l dan
Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidaklah sah wakaf untuk pembangunan tempat yang
dikeramatkan. Begitu pula kuburan yang diberi lampu di atasnya, yang
diagungkan, atau yang dituju dalam bernazar atau dalam menjalankan ibadah haji
serta diibadahi selain Allah l dan dijadikan sesembahan selain Allah l. Ini
semua adalah perkara yang tidak ada satu pun yang menyelisihinya dari kalangan
para ulama dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.” (Lihat Zadul Ma’ad
jilid 3)
Termasuk Syarat yang Batil
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan t berkata, “(Termasuk dari syarat sahnya wakaf
adalah) agar wakaf tersebut untuk suatu kebaikan karena maksud dari wakaf
adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah l. Misalnya, wakaf untuk masjid,
jembatan, fakir miskin, sumber air, buku-buku agama, dan kerabat. Tidak sah
wakaf untuk selain kebaikan, seperti wakaf untuk tempat-tempat ibadah orang
kafir, buku-buku ahlul bid’ah, wakaf untuk kuburan yang dikeramatkan dengan
memberi lampu di atasnya atau dengan diberi wewangian, atau wakaf untuk
penjaganya, karena semua itu merupakan bentuk membantu kemaksiatan dan syirik,
serta kekufuran.
Lafadz (Ikrar)
untuk Mengungkapkan Wakaf
Adapun lafadz yang dengannya wakaf akan teranggap sah, para ulama membaginya
menjadi dua bagian:
1. Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang dengan jelas menunjukkan wakaf dan
tidak mengandung makna lain.
2. Lafadz kinayah, yaitu lafadz yang mengandung makna wakaf meskipun tidak
secara langsung dan memiliki makna lainnya, namun dengan tanda-tanda yang
mengiringinya menjadi bermakna wakaf.
Untuk lafadz yang pertama, maka cukup dengan diucapkannya akan berlaku hukum
wakaf. Adapun lafadz yang kedua ketika diucapkan akan berlaku hukum wakaf jika
diiringi dengan niat wakaf atau lafadz lain yang dengan jelas menunjukkan makna
wakaf. (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
Para ulama telah sepakat bahwasanya yang harus ada adalah lafadz dari yang
mewakafkan. Jadi, wakaf adalah akad yang sah dengan datang dari satu arah. Adapun
lafadz penerimaan (qabul) dari yang dituju dari wakaf tersebut tidak menjadi
rukunnya. (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 77)
0 Response to "Syarat dan Rukun Wakaf"
Posting Komentar